Lilin Hati

Aku tersadar dalam lamunan yang mengawang
Ketika tetesan lilin mulai melirih di tanganku
Tak sempat ku menghindar, lilin itu terjatuh dari genggamanku
Hancur, berantakan hingga akhirnya patah.

Hari ini tak ada yang istimewa untukku, selain menahan kerinduan yang tersirat. Apakah benar rindu yang kurasa, atau ini hanyalah lintasan hasratku saja? Entahlah…episode kehidupan ini tak pernah bisa kutebak, meski tak semuanya misteri, dan aku hanya perlu meyakini saja akan apa yang akan Tuhan berikan untukku.

Dalam sepi aku merasa, dalam keramaian pun aku merasa. Semua itu selalu datang dan pergi tanpa kutahu pasti. Mungkin, inilah yang tersisa dalam lilin yang tak lagi menampakkan bentuknya. Namun harapan untuk menikmati cahayanya masih dapat kurasakan. Ya, lilin hati yang masih tersisa, menyala…. meskipun sinarnya begitu kecil.

Meski tak sempat kutiupkan lilin ini, bahkan nampak hancur tak berbentuk, panasnya lelehan itu masih membekas dalam rasaku. Perih, meninggalkan sensasi yang tak kunjung hilang. Angin… sampaikan sinarku.

29 tahun sudah

malam itu rembulan menghangatkanku di malam hari, menerangi malamku yang penuh harap
dan ketika fajar tiba… kurasakan nikmat yang tiada henti
nikmat akan sebuah kehidupan yang memiliki jiwa dan harapan baru
kudapati cahaya itu makin menerangiku, makin membuatku merasa sangat berarti
kusandarkan, kuberpeluh semua padanya
karena kuyakin separuh nafasku adalah bagian hidupnya
tak pernah henti kumerasakan cintanya
tak pernah henti kurasakan kelembutannya
tak pernah henti kurasakan kecupan lembutnya di pagi hari
dan tak pernah terlewat ucapan indah dari mulutnya
ketika saat ini tiba, saat dimana separuh usiaku telah berlalu
Kau ucapkan “Selamat Ulang Tahun Sayang”
*dibuat 10 Maret 2010 pukul 20.35 oleh aku sendiri untuk suami tercinta